Tingalan Jumenengan Dalem Nata
Labuhan Alit merupakan rangkaian upacara untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Nata (penobatan Sultan). Upacara yang dimulai di Pantai Parang Kusumo ini berakhir serentak di Gunung Merapi dan Gunung Lawu.
Upacara Labuhan yang dimulai oleh Panembahan Senopati merupakan wujud syukur atas kelangsungan Kerajaan Mataram, juga untuk mendoakan keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta.
Labuhan berasal dari kata labuh yang bermakna melarung. Labuhan Alit yang biasanya berlangsung dua kali setahun, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB X), diubah menjadi setahun sekali, yaitu hanya pada hari penobatan Sultan. Sedangkan Labuhan Ageng dilangsungkan delapan tahun sekali.
Tempat dan Makna Yang Tersirat
Upacara Labuhan Ageng (Labuhan Besar) dilaksanakan berdasarkan tahun Dal, jadi hanya dilakukan sekali dalam satu windu. Benda-benda yang dilabuh dibagi empat bagian untuk dilabuh di Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu dan Dlepih Kahyangan. Empat lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa tempat-tempat tersebut dahulu dipakai oleh raja-raja Mataram (terutama Panembahan) untuk bertapa dan berhubungan dengan roh halus.
Sedangkan Labuhan Alit (Labuhan Kecil), berlangsung setiap tahun. Upacara ini biasanya tidak menyertakan Dlepih Kahyangan sebagai tempat Labuhan. Menurut kepercayaan, apabila tradisi ini dihentikan maka rakyat dan Kerajaan Mataram akan tertimpa murka Ratu Kidul. Pasukan jin dan makhluk halus akan diutus untuk menyebarkan penyakit juga berbagai macam musibah.
Dua tempat utama, yakni Pantai Kidul dan Gunung Merapi, sesungguhnya merupakan lambang keseimbangan harmoni antara manusia dan alam. Laut Selatan sebagai unsur air dan Gunung Merapi sebagai unsur api. Sebuah kearifan untuk menselaraskan manusia dan tempat tinggalnya.
Prosesi dan Benda Labuhan
Labuhan dimulai dengan upacara pasrah penampi (penyerahan sesaji) dari Parentah Ageng Kraton Ngayogyakarta kepada Bupati Bantul di Pendapa Kecamatan Kretek. Setelah itu, uba rampe dibawa ke Pendapa Parangkusumo untuk diwilang (diperiksa) sebelum diserahkan kepada juru kunci Parangkusumo, sekaligus didoakan. Acara doa berlangsung di Cepuri Parangkusumo. Di tengah areal Cepuri terdapat batu yang menjadi tempat pertemuan Panembahan dan Ratu Kidul
Setelah didoakan, salah satu uba rampe berisi lorodan ageman (pakaian bekas Sultan), kenaka (potongan kuku) serta rikma (potongan rambut) Sultan selama setahun, dikubur di sudut Cepuri sambil menabur bunga dan membakar dupa.
Sisa uba rampe berisi sembilan kain dengan corak dan warna khusus, uang tindih lima ratus (sebelumnya hanya seratus), minyak koyoh, ratus (dupa), serta layon sekar (sejumlah bunga yang telah layu dan kering, bekas sesaji pusaka-pusaka Kraton selama setahun), juga termasuk jajanan pasar; dibawa di atas tiga tandu melewati jalan yang dibatasi tiang-tiang di kedua sisi hingga bibir pantai.
Uba rampe kemudian dilarung. Pada saat sesaji yang dilarung ini kembali ke pantai terbawa ombak, Peserta yang hadirpun berebut isi sesaji. Saya sempat menyaksikan atraksi tersebut, menganggap hal ini adalah salah satu daya tarik dari upacara itu sendiri. Kepercayaan setempat, benda-benda tersebut dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan.
Selanjutnya para abdi dalem menuju Gunung Merapi. Sebelum labuhan, uba rampe wilujengan yang berupa sembilan tumpeng dan satu gunungan uluwetu, dikirab dari rumah Dukuh Pelemsari, menuju rumah juru kunci Merapi. Sesaji ini kemudian didoakan dan diinapkan di pendopo rumahnya.
Prosesi labuhan ini juga menampilkan fragmen tari dengan lakon Wahyaning Mongsokolo Labuhan, kesenian jathilan, uyon-uyon dan karawitan. Pada malam harinya akan diadakan tirakatan dan pagelaran wayang kulit Semar Bangun Kahyangan. Pada dini hari, sesaji diberangkatkan ke Pos II lereng selatan Merapi untuk dilabuh. Labuhan Merapi dilakukan bersamaan dengan Labuhan Gunung Lawu di Karanganyar, Jawa Tengah.
Untuk mengikuti acara Labuhan, tanggalnya bisa dilihat melalui kalender wisata yang kami update setiap tahunnya.
Jika sekali waktu menyempatkan untuk mengikuti prosesi ini, selain mendapatkan pengalaman spiritual yang menarik, kita juga akan lebih sadar bahwa eksistensi antara manusia dan alam tidaklah dapat dipisahkan. Sebuah fusi budaya dan agama yang menggetarkan jiwa.
0 komentar:
Posting Komentar